Pagi itu Mirna bangun dengan wajah sedikit lebam. Pipinya masih terasa perih bekas tamparan sang suami semalam. Ya, suami Mirna memang orang yang mudah naik pitam. Semenjak usaha suami bangkrut di era pagebluk ini, amarahnya semakin sering menjadi-jadi. Seperti semalam ketika Mirna memintanya untuk menggeser motor yang menghalangi pintu dapur, ia malah mengumpat kesal dan meracau yang tidak-tidak. Pertengkaran mulut terjadi dan sebuah tamparan keras mendarat di pipi kanan Mirna.
Ini bukan pertama kalinya Mirna merasakan bogem mentah sang suami. Namun, Mirna sungguh tidak tahu harus bagaimana lagi. Biar bagaimanapun, suaminya adalah ayah dari anak-anaknya. Mirna tak bisa begitu saja meninggalkannya. Sementara, ia juga tak ingin mengadu kepada kedua orangtuanya dan membuat mereka cemas. Kegaduhan di rumahnya kerap terdengar hingga ke tetangga. Mirnapun malu dan semakin menarik diri dari pergaulan masyarakat.
Mirna tidaklah sendirian. Sesungguhnya ada banyak Mirna di negeri ini. Seorang perempuan yang harus hidup dengan kekerasan, bukan dari orang lain, melainkan dari pasangan sendiri. Lalu apa yang harus dilakukan??
Di Indonesia, kekerasan pada perempuan angkanya terbilang cukup tinggi. Komisi Nasional (Komnas) Perempuan menyatakan bahwa dalam setiap dua jam, ada tiga perempuan Indonesia yang mengalami kekerasan seksual. Itu berarti, dalam satu hari ada tiga puluh enam perempuan di Indonesia yang mengalami pelecehan atau bentuk kekerasan berbasis gender lainnya.
Yang lebih mengkhawatirkan, angka kekerasan terhadap perempuan ternyata meningkat tajam selama pagebluk berlangsung. Sebelum Covid-19 mewabah, dalam satu minggu Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perlindungan Perempuan Indonesia (LBH APIK) biasa menerima sekitar 40 layanan konseling korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Namun, angka KDRT meningkat seratus persen sejak diterapkannya kebijakan kerja dari rumah pada Maret lalu. Angka ini diyakini hanyalah sebagian kecil dari jumlah kasus kekerasan yang sebenarnya terjadi. Faktanya, sebagai besar kasus kekerasan berbasis gender tidak pernah dilaporkan ke polisi. Rasa malu, takut, ataupun pasrah karena tidak tahu harus berbuat apa, kerap menjadi alasan korban KDRT tidak melaporkan kasusnya ke polisi.
Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) mendefinisikan kekerasan terhadap perempuan sebagai “segala bentuk kekerasan berbasis gender yang mengakibatkan, atau berpotensi mengakibatkan, bahaya fisik, seksual, mental, atau penderitaan terhadap perempuan, termasuk segala bentuk ancaman, paksaan, atau penggerusan kebebasan, baik di ranah publik maupun privat.” Jadi, definisi kekerasan terhadap perempuan tidak hanya mencakup kekerasan fisik, tapi juga kekerasan verbal maupun psikis/mental.
Sungguh menyedihkan. Sejatinya rumah adalah surga bagi penghuninya. Di dalam Islam, rumah tangga juga dibentuk untuk menciptakan ketenangan dan ketentraman bagi kedua pihak. Tapi faktanya, kasus kekerasan terhadap perempuan, khususnya KDRT sangat marak terjadi di Indonesia, dan juga di dunia. WHO mencatat bahwa satu-pertiga perempuan di dunia pernah mengalami kekerasan oleh pasangan.
Ada beragam faktor penyebab seseorang melakukan kekerasan terhadap perempuan, termasuk KDRT, diantaranya:
Perilaku kekerasan dalam rumah tangga dapat berdampak serius dan berjangka panjang. Tidak hanya bagi sang perempuan, KDRT juga dapat membahayakan seluruh jiwa yang ada di dalam rumah tangga tersebut.
Dari sisi kesehatan, KDRT jelas dapat mengancam kesehatan fisik dan mental perempuan dan anak-anak yang menyaksikannya. Data WHO mengatakan, 42% kasus KDRT menyebabkan luka fisik pada perempuan. Kasus KDRT pada perempuan hamil meningkatkan resiko keguguran, kelahiran prematur, ataupun stillbirth (lahir dalam kondisi bayi meninggal). Sementara itu, dampak kesehatan jiwa dapat timbul berupa depresi, trauma, gangguan tidur, daya tahan tubuh menurun karena hilang selera makan, dan bahkan dapat menimbulkan hasrat bunuh diri.
TAnak-anak yang terpapar kekerasan sejak dini dapat tumbuh menjadi pribadi yang juga penuh dengan kekerasan. Penelitian membuktikan, anak-anak korban KDRT beresiko tinggi terlibat pada kenakalan remaja dan perilaku destruktif lainnya seperti merokok, konsumsi alkohol dan obat-obatan terlarang, serta berpeluang untuk menjadi pelaku KDRT ketika berkeluarga kelak. Maka, jika dibiarkan, KDRT akan menimbulkan lingkaran setan rantai kekerasan rumah tangga yang tak ada habisnya.
Langkah pencegahan dan penanganan kekerasan berbasis gender, termasuk KDRT, kerap menjadi ranah pemerintah, praktisi kesehatan, dan Lembaga Sosial Masyarakat (LSM). Namun, masalah ini sesungguhnya juga memerlukan dukungan masyarakat secara keseluruhan, utamanya dalam memperbaiki norma sosial yang seolah melegitimasi KDRT. Tidak jarang, masyarakat memilih mendiamkan KDRT karena menganggap itu adalah urusan orang lain. Dimanakah rasa kemanusiaan kita?
Berikut beberapa langkah yang dapat dilakukan terkait penanganan kekerasan terhadap perempuan, sebagaimana yang direkomendasikan oleh WHO dan sejumlah studi lainnya:
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) menyatakan menerima aduan dan layanan konseling psikolog bagi perempuan korban kekerasan melalui hotline 119 ext. 8 , nomor whatsapp 082125751234 atau melalui situs pengaduan.
Layanan panggilan darurat 24 jam bagi warga DKI Jakarta yang dapat menerima pengaduan kekerasan pada perempuan dan anak. Layanan ini terintegrasi dengan layanan medis (ambulans) semisal dibutuhkan sewaktu-waktu.
AWAS KBGO menyediakan layanan pendampingan kekerasan berbasis gender online dengan cara mengakses situs tersebut di atas.
LBH apik, LSM yang kerap mendampingi kasus hukum korban KDRT dan menerima aduan secara online dan offline.
Alamat Kantor LBH APIK Jakarta
Jl. Tengah No.31, Kp. Tengah, Kec. Kramat Jati,
Kota Jakarta Timur, Daerah Khusus Ibukota Jakarta
Kode Pos 13520
Telp. (021) 87793300
Komisi Nasional Perlindungan Perempuan berkantor di JL Latuharhari 4B. Jakarta.
10310 dan menerima aduan di nomer telp: +62-21-3903963
##Writober2020
#RBMIPJakarta #Pagebluk
Pingback:Yuliana Samad | Merajut Asa, Meraih Cita
Posted at 15:06h, 28 October[…] ini saya menulis sepuluh #pengalamanperempuan dengan berbagai latar belakang isu. Mulai dari isu kekerasan seksual, lingkungan, kesehatan reproduksi, beban kerja domestik/care work, perempuan dalam konflik, peran […]